Menulis
:Antara Publikasi dan Mimpi
By: Firman Nofeki
Saya
teringat kata-kata penulis hebat indonesia mbak
Helvi Tiana Rosa ‘’ketika seseorang menulis maka ia baru saja
memperpanjang usianya’’. perkataan Helvi
Tiana Rosa tersebut mengisyaratkan bahwa menulis itu ibarat menambal umur.
Betapa tidak, melalui tulisan seseorang bisa dikenal lebih lama, bahkan lebih
lama dari usia. Ketika sebuah ide, gagasan, imajinasi dan sebagainya dituangkan
dalam sebuah tulisan, diterbitkan dalam sebuah buku, dan dibaca oleh banyak
orang, maka nama pengarangnya tidak pernah mati bahkan dari generasi ke
generasi.
Mimpi
menulis buku adalah mimpi memberi jutaan inspirasi. Dengan tulisan kita dapat
menebar kebaikan. Sebab Satu pena mampu mengalirkan jutaan makna dan motivasi.
Dengan tulisan kita mampu mengubah kehidupan banyak orang. Kita mampu mengubah
si bodoh menjadi cerdas dan si dungu menjadi berilmu. Mimpi menulis bukan mimpi
untuk menghidupi diri sendiri, namun mimpi untuk sejuta umat yang harus
diwujudkan sepanjang hayat
Kita lihat saja contohnya Buya
Hamka. Kita pasti pernah mengenal Mahakarya nya Dibawah lindungan Ka’bah,
Tenggelamnya kapal van der wijck, merantau ke deli dan sebagainya, semua
merupakan karya agung yang luar biasa yang masih dibaca hingga sa’at ini.
Meskipun generasi telah berganti,buku-buku hebatnya masih diminati.
Dalam setiap periode
kepenulisan selalu memunculkan pula para penulis yang menjadi ikon dalam setiap
zamannya. Kita pun kemudian mengenal Marah Rusli, Armyn Pane, Sanusi Pane, H.B.
Jassin, Sutan Takdir Alisyahbana, Pramudya Ananta Toer, Chairil Anwar, Sitor
Situmorang, Subagio Sastrowardojo, Ajip Rosidi, Gunawan Muhamad, Putu Wijaya,
Laila S. chudori, Afrizal Malna, Acep Zamzam Noor, Soni Farid Maulana, dan
lain-lain sebagai tokoh-tokoh penulis hebat yang memiliki kredibilitas di dunia
kepenulisan karena telah mencatatkan diri sebagai penulis produktif pada
masanya sehingga menjadi referensi kreatif untuk generasi selanjutnya yaitu
kita.
Jika
kita mau flashback lebih jauh ke belakang, ke era dimana tinta emas dari pena
para ulama ikut andil dalam kemajuan peradaban. Buku-buku dari seluruh dunia
dikumpulkan, diterjemahkan dan dibaca. Setelah itu Ribuan karya fenomenal
bermunculan dan diterbitkan. Ibnu sina misalnya. Di dunia barat beliau dikenal
dengan julukan Avicena. Karya beliau
“Al-Qanun fi Thibb” yaitu dasar-dasar ilmu kedokteran menjadi tonggak dasar
ilmu kedoteran di seluruh dunia sampai hari ini. Andaikan karya-karya mereka
itu tidak dibukukan dan diterbitkan, barangkali ilmu pengetahuan itu akan
terkubur bersamaan dengan runtuhnya dinasti Abbasiyah. Dengan membaca kita
mengenal dunia, namun dengan menulis kita dikenal oleh dunia.
Muan Ibnu Zaidah
dalam buku penyair arab modern, Adonis mengungkapkan bahwa ‘’tangan yang tak
dipergunakan menulis maka tangan tersebut adalah kaki’’. Ungkapan mengisyaratkan
kepada kita bahwa setinggi apapun ilmu seseorang ketika ia tidak menulis maka
ia sama saja dengan hewan yang pandai. Sebab tangan adalah sahabat karib otak.
Sebuah perasaan, ide atau gagasan jika hanya tersimpan dalam otak maka ia akan
hilang dan musnah. Namun berbeda halnya jika dituliskan dengan ia akan menjadi
produk kreativitas yang bermanfaat dan hidup dalam sejarah.
Persoalannya sa’at
sekarang ini masih banyak orang berkata menulis itu sulit. Kita kadang terlalu
kokoh berasumsi menulis itu bakat, dan sudah terlebih dahulu gagal sebelum
mencoba. Menulis itu ibarat orang belajar naik sepeda. Pada awalnya mengerikan
untuk dibayangkan, sebab takut terjatuh, namun ketika sudah lancar terasa mudah
dan menyenangkan. Menulis hanya kebiasaan yang perlu sedikit dipaksakan.
‘’Menulis buku itu gampang’’ kata jonru, kuncinya hanya mau, mau dan mau.
Menulis itu
kompetensi yang dilejitkan melalui banyak membaca. Ibarat makanan, membaca akan
memperkaya tulisan dengan bumbu-bumbu kata yang berkualitas, sehingga karya
yang disungguhkan adalah karya yang bermutu. Kosa kata yang banyak membuat ide
mengalir dengan bebas. Kosa kata yang terbatas ketika menulis membuat seseorang
mudah jenuh dan malas.
Semua tidak cukup
sampai disitu saja. Setelah punya keinginan untuk menulis dan banyak membaca,
dibutuhkan konsistensi dan rutinitas. Apa hal tersebut perlu? Sangat perlu,
karena disinilah produktivitas penulis terlihat bukan hanya keinginan sesa’at.
Praktek,
praktek dan praktek. Ini adalah yang dilakukan oleh penulis produktif. Jadwalkan setiap hari waktu untuk
menulis sesuatu. Kesampingkan fikiran
tentang kualitas dan kesalahan gramatikal, dengan begitu seseorang akan secara
natural memiliki naluri penulis yang terlatih .
Memilih
jalan menjadi seorang penulis adalah memilih jalan kreativitas, di mana setiap
isi hati dan fikiran ditumpahkan dengan total. Berani menulis dan
menerbitkannya merupakan bentuk dari totalitas. Jika hanya tertidur di fikiran
ia hanya akan menjadi mimpi. Jika hanya terkubur dalam diary ia hanya akan
menjadi bahasa bisu. Sebab produk utama
dari tulisan itu adalah buku, sasaran utamanya adalah masyarakat luas, tujuan
utamanya adalah kepuasan dan menginspirasi bagi pembaca.
Dengan menulis dan menerbitkannya
kita bisa menyambung rentetan sejarah panjang yang telah ada sebelumnya untuk
kita teruskan sebagai warisan buat generasi selanjutnya. Sehingga suatu saat
kelak orang-orang akan tetap mengingat bahwa ada seseorang yang pernah terlahir
dan meninggalkan sebuah karya yang tetap hidup sepanjang zaman. Dan orang
tersebut adalah kita, yang tetap abadi dalam tulisan-tulisan yang kita
hasilkan.
#Artikel ini ditulis ketika kegiatan Shortcourse Penulisan Karya Ilmiah Mahasiswa 2017